Kado Surat Pernikahan #5

Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata. Aku hanya memikirkan kata-kata yang harus kukeluarkan dari mulutku. Aku harus menjadi lebih berani daripada sore kemarin. semuanya harus aku sampaikan sebelum aku merasakan penyesalan yg lebih menyakitkan.

Ternyata benar. Pagi ini dia sudah menungguku di gerbang kampus. Dia adalah suami wanita lain yang pernah ada di kehidupanku, atau lebih tepatnya yang sampai sekarang masih menjadi seseorang yg spesial di kehidupanku. Kenangan waktu dulu tiba-tiba berlari-lari di pikiranku. Kakiku melemas lagi, tetapi segera aku menguatkan langkahku berusaha bersikap biasa saja.

Aku mengajaknya ke taman kampus menjauh dari keramaian. Kami berdua duduk bersebelahan. Aku masih saja menatapnya terpesona, masih tidak memedulikan siapa dia. Dia hanya menatap kosong ke depan. Aku sendiri sudah siap dengan apa yang akan menjadi keputusannya.

"Apa hanya surat itu yang membawamu kesini? Atau ada hal lain?" Aku mulai bertanya. Hatiku rasanya tidak karuan, berharap hanya karena aku dia datang kemari. Dia menoleh ke arahku yang masih saja menikmati sosok spesial itu.

"Aku sudah menikah. Lalu apa perasaanmu?" Dia membuka mulutnya, lalu kembali menatap ke depan. Aku tidak mengerti kenapa dia malah balik bertanya. Kata-katanya pun jauh dari jawaban atas pertanyaanku.

"Aku merasa ditinggal seseorang yang gak akan pernah kembali. Walaupun kemungkinan itu ada. Aku hanya berusaha bersikap optimis." Jawabku sekenanya. Skenario ini bukan yang aku inginkan. Aku ingin dia memohon kepadaku untuk menerimanya apa adanya, atau bahwa dia kesini karena kata hatinya masih berpihak padaku. Ahh, penglihatanku mulai mengabur lagi. Aku merasa dia menjauh.

"Kamu tidak peduli dengan istriku? Atau kamu tidak peduli dengan perasaanku selama ini? Kamu sendiri yang pergi menjauh dariku. Kamu sendiri yang memilih jalan hidupmu. Lalu, ketika aku memutuskan suatu keputusan yang sulit, kamu kembali mengusik perasaanku. Hal benar apa yang harus aku putuskan?" Dia mencoba tetap menata ke depan. Sementara aku mulai tersedak, mataku berkaca-kaca. Dia menggugat sikapku.

"Aku juga mengharapkan apa yang kamu harapkan, Ramla. Sampai saat inipun aku masih merasakannya. Tapi apakah aku harus meninggalkan perempuan yang sangat mencintaiku dengan apa adanya? Sementara aku masih menerimanya dengan setengah hati? Apa itu adil bagi dia?" Dia sekarang menatapku dalam-dalam. Aku membeku. Akhirnya percakapan ini sampai pada apa yang aku harapkan. Tapi sebegitu egoiskah aku? Aku masih terdiam. Kami saling bertatapan. Dia sepertinya sudah mempersiapkannya matang-matang.

"Aku.. Aku mencintaimu sampai saat ini. Dari dulu aku selalu mencintaimu. Sampai kamu meninggalkanku untuk mencapai cita-citamu pun aku masih mencintaimu, Ramla." Aku menangis tidak percaya. Apa aku bermimpi? Tapi tatapannya nyata. Perasaanku campur aduk. Dia menyatakannya setelah bertahun-tahun tidak pernah ada kata itu yang keluar dari mulutnya. Lama sekali aku tidak membuka mulutku.

"Tapi, Ramla. Aku akan berusaha optimis pada keputusanku yang sulit itu. Dia selalu berusaha mengobati kesedihanku selama ini, ketika orang yang aku harapkan tidak peduli dengan perasaanku. Dia yang selalu menolongku keluar dari jalan buntu yang kamu ciptakan, Ramla. Aku harap kamu akan paham." Dia berdiri, menatapku sebentar, lalu berlalu meninggalkanku sendirian.

Rasa bahagia itu seketika berubah menjadi kehancuran. Aku menangis, aku terisak. Inikah akhirnya? Apakah benar aku yang menciptakan jalan buntu baginya? Sejahat apa aku ini? Semua pertanyaan itu menyatu dengan air mata yang terus menerus keluar. Aku teringat perkataan seseorang yang jauh di sana. Ibuku benar. Dia selalu benar dan selalu tahu. Saat ini aku hanya butuh satu pelukan itu. Aku sadar, dia memilih orang yang benar-benar mencintainya daripada dia mencintai orang yang hanya mencintainya dengan perasaan.

It's really over.
Tuesday night
Feb 11, 2014
10.52 pm

Komentar