kado surat pernikahan #3

Kami duduk berhadapan di kafe kampus. Sama-sama menyeduh kopi kesukaan kami, cappuccino. Kami masih bertatapan tanpa kata. Masih tanpa suara. Kami hanya saling tersenyum, entah senyum bahagiaku bahwa dia sengaja menemuiku, atau senyum sedihku bahwa dia akan bilang ‘jangan merusak pernikahanku’. Namun aku masih nyaman menatap wajahnya. Aku sengaja tidak peduli bahwa dia sudah menjadi milik orang lain.

“Aku udah terima surat itu.” ujarnya kemudian. Dia tidak mengindahkan sikapku yang tetap menatapnya mempesona. Dia menepuk lenganku setelah sekian lama aku diam.

“Mungkin surat itu nyasar. Ah, tapi nggak. Surat itu memang sampai ke tujuanku. Jadi, kamu udah baca?” jawabku bingung.

Oh, ternyata tentang surat itu yang membawanya kesini, menemuiku. Bukan karena dia kangen denganku. Atau yang lebih ekstrim lagi, bukan karena dia lebih memilih aku dibandingkan istrinya. Apa aku berdosa dengan sikap seperti ini? Menggoyahkan keteguhan hati seorang suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak memedulikannya. Aku hanya mengikuti kata hati ini. Kalau tidak, mungkin aku akan menyesalinya seumur hidupku. Aku terlena dalam diam.

“Iya. Aku udah baca. Itu semua benar. Dan aku juga pernah merasakan hal yang sama,” Kata-katanya menggantung. Dia berhenti sebentar, menelan ludah. “Tapi dulu.” lanjutnya.

Aku merasakan sekujur tubuhku mendingin. Kepalaku pusing sekali. Apa katanya? Dulu? Lalu sekarang? Dia sudah melupakannya. Dia sudah tidak merasakannya. Lalu apa fungsi suratku itu kalau bukan untuk merobohkan keteguhan hatinya? Penglihatanku mengabur. Aku mengerjapkan kedua mataku. Dia masih berada tepat di hadapanku. Jadi dugaanku salah semua kalau dia kangen denganku atau dia meninggalkan istrinya hanya demi aku. Bukan itu, dia ke sini untuk memperjuangkan cintanya terhadap istrinya. 

bersambung....

monday morning 
Dec 02, 2013
6.24 AM

Komentar