Kami duduk berhadapan di kafe kampus. Sama-sama menyeduh kopi kesukaan
kami, cappuccino. Kami masih bertatapan tanpa kata. Masih tanpa suara. Kami
hanya saling tersenyum, entah senyum bahagiaku bahwa dia sengaja menemuiku, atau
senyum sedihku bahwa dia akan bilang ‘jangan merusak pernikahanku’. Namun aku
masih nyaman menatap wajahnya. Aku sengaja tidak peduli bahwa dia sudah menjadi
milik orang lain.
“Aku udah terima surat itu.” ujarnya kemudian. Dia tidak mengindahkan
sikapku yang tetap menatapnya mempesona. Dia menepuk lenganku setelah sekian
lama aku diam.
“Mungkin surat itu nyasar. Ah, tapi nggak. Surat itu memang sampai ke
tujuanku. Jadi, kamu udah baca?” jawabku bingung.
Oh, ternyata tentang surat itu yang membawanya kesini, menemuiku. Bukan
karena dia kangen denganku. Atau yang lebih ekstrim lagi, bukan karena dia
lebih memilih aku dibandingkan istrinya. Apa aku berdosa dengan sikap seperti
ini? Menggoyahkan keteguhan hati seorang suami terhadap istrinya. Tapi aku
tidak memedulikannya. Aku hanya mengikuti kata hati ini. Kalau tidak, mungkin
aku akan menyesalinya seumur hidupku. Aku terlena dalam diam.
“Iya. Aku udah baca. Itu semua benar. Dan aku juga pernah merasakan hal
yang sama,” Kata-katanya menggantung. Dia berhenti sebentar, menelan ludah.
“Tapi dulu.” lanjutnya.
Aku merasakan sekujur tubuhku mendingin. Kepalaku pusing sekali. Apa
katanya? Dulu? Lalu sekarang? Dia sudah melupakannya. Dia sudah tidak
merasakannya. Lalu apa fungsi suratku itu kalau bukan untuk merobohkan
keteguhan hatinya? Penglihatanku mengabur. Aku mengerjapkan kedua mataku. Dia
masih berada tepat di hadapanku. Jadi dugaanku salah semua kalau dia kangen
denganku atau dia meninggalkan istrinya hanya demi aku. Bukan itu, dia ke sini
untuk memperjuangkan cintanya terhadap istrinya.
bersambung....
monday morning
Dec 02, 2013
6.24 AM
Komentar
Posting Komentar