tujuh soal itu berhasil membuatku menangis

Ternyata menjadi mahasiswa itu tidak semudah yang aku bayangkan. Berangkat kuliah siang, kuliah tidak memakai seragam, temannya dari mana-mana, dan kelihatannya menyenangkan. Hal itu semua hanya kurasakan awal-awal aku menikmatinya. Banyak sekali sesuatu yang baru yang bisa membuatku tersipu. Bahkan sampai hal yang aneh bisa membuatku kagum. 

Waktu berjalan tidak seperti unta yang hanya berjalan pelan, tidak seperti kura-kura yang jalannya merayap, dan tidak seperti kadal yang berjalan tertatih-tatih. Waktu berjalan sangat cepat sampai aku tidak bisa mengingat seluruh kejadian yang telah aku alami sendiri. Waktu itu berlari seperti kuda yang ditunggangi seorang raja yang siap memimpin pasukannya maju bertarung. Sumpah!!! Itu membuatku ikut berlari kencang meraihnya. Namun kadang di dalamnya hanya aku gunakan untuk hal yang tidak wajar dan buang-buang waktu saja. Seakan lupa kalau aku sedang mengejar kuda sang raja.

Yahh! Waktu sia-sia itu aku alami beberapa hari yang lalu. Saat beberapa kawan mengisinya dengan berkutat belajar bahan ujian tengah semester. Bahan ujian yang benar-benar tidak kuhiraukan. Sungguh aku menyesal karena itu. Karena aku pikir teknik ujiannya hanya seperti teknik tugas-tugas yang menumpuk. Dengan santai aku hanya membuang sampah yang kotor dari mulutku alias membual saja (untuk kawan yang sedang bersamaku, aku minta maaf karena aku tidak bermanfaat saat itu). Dengan enaknya aku hanya duduk-duduk minum di sebuah tempat di pinggir jalan kampus. tanpa berpikir apa yang sebenarnya akan terjadi karena hanya Tuhanlah yang tahu segalanya. Harusnya aku berjaga-jaga membuka satu-dua halaman buku tugas yang hari itu aku pegang kemana-mana. Tapi memang dasar mataku telah tertutup giuran dunia, apa boleh buat. Ujung-ujungnya aku sendiri yang menanggung akibatnya.

Saat menuju ke ruang kulaih yang ada di lantai tiga. Sudah susah payah pula aku menaiki puluhan tangga. Bertemu dengan asisten dosen sekaligus diberitahu semua bahan yang akan diujikan adalah bahan yang telah diberikan sebagai tugas. Lagi-lagi aku tidak menghiraukannya. Membatin selalu ingat semua tugas-tugas itu. Oi, malah membual lagi bersama kawan yang lain. Benar-benar tidak ada habisnya sampah kotor itu keluar dari mulutku. Sekali lagi aku sungguh menyesal karena itu.

Detik-detik waktu ujian itu akhirnya datang juga. Dengan bangga mengambil tempat duduk seakan sudah siap dengan semua soal yang akan disodorkan. Menatap kanan-kiri, kawan-kawan pun juga terlihat sudah siap. Ditemani dengan buku mereka. Lagi-lagi aku masih percaya diri dengan kemampuanku. Aku tidak mendapatkan apapun kecuali rasa kecewa. Ketika soal itu aku terima, rasanya ingin sekali aku membuka buku tugas itu. Saran asdos itu tidak meleset (Ya pastinya benar, kan dia sendiri yang membawanya). Keringat dingin mulai mengalir. Sumpah! Aku hanya ingat letak jawabannya ada di buku pusaka itu. Sebagian besar atau bisa dikatakan sembilan puluh persen aku tak tau jawabannya. Sungguh merana nasibku siang itu.
Aku melongokkon kiri-kanan, yang lain masih ber-ahh pelan (termasuk aku sendiri). Hanya ada satu dua yang menggaruk-garuk kepala termasuk aku sendiri lagi. Sungguh-sungguh menyesal karena itu.

Waktu lagi-lagi berlari kencang seperti kuda milik sang raja. Satu jam berlalu, aku masih menggaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Mencoba peruntungan mengerjakan soal nommor satu, tidak bisa sempurna. Aku membaca soal selanjutnya, tidak ada bayangan apapun. Sampai pada soal nomor tujuh, sedikit-sedikit lumayan ingat jawabannya. Mencoba peruntungan lagi walaupun tidak sama persis dengan yang sebenarnya. Kertas soal dan jawaban hanya aku balik-balik saja setelah melawan dua soal yang telah aku pecahkan, yah, walaupun memang benar tidak sama persis dengan jawabannya. Masih membalik-balikkan kedua kertas itu, menengok kanan-kiri lagi. Bertatapan dengan salah seorang kawan yang bernasib sama sepertiku, tapi hanya menurutuku saja, tidak tahu yang sebenarnya. Mengecek jawaban yang tidak sempurna dan kembali menengok kanan-kiri. Makin tidak jelas saja sikapku. Sampai bosan akhirnya aku mengeluarkan headset ponsel dan mulai mendengarkan musik-musik. Tidak menghiraukan lagi kertas-kertas yang ada di atas mejaku. Sungguh-sungguh sangat menyesal dengan kejadian itu.

Akhir waktu, mataku mulai berkaca-kaca seperti anak SD yang tidak bisa mengerjakan soal ulangan. Tetesan itu benar-benar hampir jatuh. Karena penyesalan yang tidak bisa aku ubah, aku tidak bisa merubah nasibku saat itu. Tatpi Tuhan tetap ada di dekatku. Kalau tidak aku sama sekali tidak bisa mengerjakan kewajibanku.  Tuhan menegurku. Tuhan mengingatkanku dan Tuhan membantuku. Sungguh Tuhan, aku berterima kasih padaMu atas semua yang telah Kau berikan. Tidak ada bandingannya dengan apa yang diberikan oleh makhlukMu.

Kau memberiku kesempatan untuk bisa merubah hidupku menjadi lebih baik, tapi saat itu gelap menutup mataku, Tuhan. Dan aku tahu itu peringatanMu agar aku bisa memilih mana yang seharusnya aku ambil. aku telah mengabaikan peringatanMu. Sungguh-sungguh aku menyesal karena itu. Sungguh menyesal.

Komentar

  1. penyesalan itu sebuah awal.
    menyesalnya kayak gini,, paling nggak besok2 nggak gini lagi.
    semoga hari ini diingat terus.

    keep hammaasah yaa..
    =D

    BalasHapus
  2. makasih mel...memang gak salah kok orang2 bilang penyesalan dateng terlambat..pasti datang setelah kita merasakan kejadian yang gak kita inginkan..hahahaha

    BalasHapus

Posting Komentar